II.
Awal Mula Gerakan Buruh (Masa Kolonial)
Ø Gerakan buruh pertama kali muncul dalam bentuk yang sangat primitif
(spontan dan tidak dalam bentuk organisasi) di perkebunan tebu dan pabrik gula
pada tahun 1842. Awalnya buruh tanam dan buruh panen tebu (planter)—yang juga merupakan kaum tani ini—belum dilunasi upah
tanam sebelumnya oleh pemerintah, karena dianggap belum melunasi pajak natura. Saat
itu sekitar 600 planter (penanam
tebu) dari 51 desa di Kabupaten Batang menolak membayar pajak natura, melainkan
justru melakukan protes dengan cara mogok menanam untuk menuntut kenaikan upah
dari 14,22 gulden menjadi 25 gulden. Hal ini memicu solidaritas dari buruh
pabrik gula di area perkebunan untuk ikut mogok bekerja dan menuntut hal yang
sama. Tidak ada catatan tentang keberhasilan gerakan ini.
Ø Selanjutnya di wilayah Yogyakarta pada tahun 1882 terjadi pemogokan yang
cukup terorganisir walau tanpa organisasi modern seperti serikat buruh.
Pemogokan tersebut dilakukan secara bergelombang di pabrik-pabrik gula dan juga
perkebunan. Gelombang pertama dimulai akhir Juli sampai awal Agustus di 4
pabrik gula. Gelombang kedua dimulai tanggal 5 Agustus sampai 22 Agustus di 5
pabrik gula ditambah juga buruh perkebunan sekitar. Dan gelombang ketiga
dimulai 23 Agustus sampai pertengahan Oktober di 5 pabrik gula dan telah
melibatkan buruh di 21 lokasi perkebunan. Isu atau tuntutan pemogokan yang
bergelombang ini antara lain: (1) upah; (2) kerja gugur-gunung yang terlalu
berat; (3) kerja jaga yang dilakukan 1 hari dalam setiap 7 hari; (4) upah tanam
yang sering tidak dibayar; (5) pekerjaan-pekerjaan tidak wajib yang dikerjakan
tanpa dibayar; (6) harga bambu yang dibeli pabrik dengan harga terlalu rendah;
(7) kekerasan yang sering dilakukan oleh pengawas Belanda. Gerakan pemogokan
ini terhitung cukup besar dalam cakupan massanya dan cukup maju dalam
tuntutannya. Gerakan ini juga tidak tercatat keberhasilannya.
Kemunculan Gerakan
Serikat Buruh
Ø Munculnya sebuah kelas baru yang bernama buruh tidak seketika menghadirkan gerakan
buruh yang terorganisir lewat organisasi
serikat. Sebelumnya (diatas) telah ada gerakan yang muncul tanpa keberadaan
organisasi serikat. Gerakan
buruh awalnya diorganisir menjadi pergerakan “modern”
dalam bentuk organisasi-organisasi oleh
buruh-buruh Belanda yang bekerja di Nusantara. Hal ini merupakan dampak dari
meluasnya perkembangan gerakan buruh di negeri Belanda sejak tahun 1860-an.
Ø Sebenarnya organisasi perserikatan
sudah muncul pada tahun 1897 lewat Nederland
Indische Onderwys Genootschap (NIOG) atau
serikat pekerja guru Hindia-Belanda. Namun karena organisasi ini masih mencakup
guru-guru Belanda yang jumlahnya terbatas, organisasi ini tidak berkembang.
Ø Selanjutnya didirikan serikat
buruh-buruh kereta api dengan nama SS Bond (Staatspoorwegen
Bond) dan serikat buruh
pos (Pos Bond) pada tahun 1905, lalu
serikat buruh perkebunan (Cultuur Bond)
dan serikat buruh gula (Zuiker Bond)
pada tahun 1906. Organisasi-organisasi ini sudah mulai
merekrut orang-orang pribumi menjadi anggota, walaupun kepengurusan organisasi
sepenuhnya dipegang oleh orang Belanda, dan orang pribumi tidak memiliki hak
suara/pilih. Pada tahun 1910, orang-orang pribumi dalam SS Bond telah menjadi mayoritas anggota (826 dari
1.476 orang). Namun karena orang-orang pribumi tetap tidak
memiliki hak pilih atau suara dalam organisasi, serikat buruh ini berakhir pada tahun 1912.
Ø Pada tahun 1908 muncul serikat buruh
kereta api yang lain, dengan naman Vereeniging van Spooor-en Tramweg Personeel
in Nederlandsch Indie (VSTP) yang juga diinisiasi oleh orang Belanda. Namun serikat ini memiliki basis yang lebih luas ketimbang SS Bond,
karena melibatkan semua buruh tanpa
membedakan ras, jenis pekerjaan, dan pangkat dalam perusahaan. Organisasi ini
berkembang maju dan militan, terutama sejak tahun 1913, ketika untuk pertama kalinya kepengurusan serikat dipegang oleh
orang pribumi, yaitu Semaun, yang dahulu sampai sekarang namanya
sangat dikenal sebagai penggerak kaum buruh.
Ø Selanjutnya dibentuk Perserikatan Goeroe Hindia Belanda
(PGHB) pada tahun 1912; kemudian Opium
Regiebond, yang didirikan oleh buruh-buruh pabrik opium pada tahun 1915;
Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB) pada tahun 1916; Vereeniging
Inlandsch Personeel Burgerlijk Openbare Werken (VIP-BOW) pada tahun 1916, yang didirikan oleh buruh-buruh pribumi pada dinas pekerjaan
umum (seperti PU sekarang); Personeel Fabriks Bond (PFB) pada
tahun 1919; Sarekat Boeroeh Onderneming (SBO) pada tahun 1924 oleh buruh-buruh perkebunan; Serikat Sekerdja Pelaboehan dan
Pelajaran, dan sejumlah serikat buruh lain dari bidang pertambangan,
percetakan, listrik, industri minyak, sopir, penjahit, dan sebagainya. Pada
tahun 1920 telah tercatat ada sekitar seratus serikat buruh dengan 100. 000
anggota.
Ø Dengan semakin meningkatnya jumlah
anggota pribumi dalam serikat-serikat pekerja sejak 1905, dan semakin banyaknya
jumlah pengurus serikat yang berasal dari pribumi, maka perlahan-lahan terjadi
pergerseran karakter dari perjuangan buruh. Buruh-buruh pribumi yang umumnya
memiliki kondisi kesejahteraan jauh dibawah buruh-buruh asing telah membuat
perjuangan serikat buruh semakin berani dalam memperlihatkan tuntutannya dan
semakin berani dalam mengadakan aksi-aksinya.
Ø Pada zaman ini, VSTP tetap menjadi
serikat buruh yang memiliki anggota paling banyak, dan terhitung militan. Di
bawah pimpinan Semaun, serikat buruh ini terus memperjuangkan kepentingan kaum
buruh, seperti pembelaan hak-hak buruh, memperbaiki kondisi kerja dan
sebagainya. Dalam usahanya itu, Semaun membuat sebuah artikel/buku panduan bagi para aktivis gerakan buruh di Hindia-Belanda yang berjudul “Penuntun Kaum Buruh”.
Awal Mula
Hubungan Gerakan Buruh dengan Politik
Ø Sementara organisasi-organisasi buruh
(yang hanya berjuang untuk hak-hak normatif) bermunculan, organisasi-organisasi
lain yang lebih mempunyai pandangan-pandangan politik pun bermunculan. Memang juga
banyak peristiwa dimana pandangan-pandangan politik sudah mulai ada membawa
kecenderungan kepada gerakan buruh itu sendiri.
Ø Boedi Oetomo lahir tahun 1908 sebagai
aspirasi dari pemuda-pemuda intelektual yang menginginkan adanya sebuah
emansipasi bagi kaum pribumi. Selain itu, di negeri Belanda pada tahun yang
sama, kaum pribumi yang belajar disana juga membentuk Indische Vereeniging
(Perhimpunan Indonesia) sebagai suatu ekspresi keindonesiaan untuk berkumpul.
Ø Dilanjutkan dengan terbentuknya Serikat
Dagang Islam pada tahun 1909 yang kemudian berubah menjadi Serikat Islam pada
tahun 1911 oleh pribumi keturunan Arab Syekh Ahmad dan Tirto adisiryo, yang
bertujuan melawan monopoli dagang bangsa-bangsa Eropa dan Tionghoa dan
emansipasi bagi kaum pribumi yang mayoritas beragama Islam. Ditahun 1912 juga
dibentuk Indische Partij (Partai Indonesia) oleh Douwes Dekker, Cipto
mangunkusumo, dan Soewardi Sorjaningrat yang sudah mencita-citakan kemerdekaan
Indonesia.
Ø Pada tahun 1914 para
pemimpin VSTP (serikat buruh
kereta api termaju) ditambah sejumlah
tokoh sosialis mendirikan Indische
Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) yang merupakan organisasi politik pertama di Indonesia
yang berhaluan sosialis.
Ø Setiap organisasi yang berpandangan
politik ini sedikit banyak menjalin hubungan dengan organisasi-organisasi
buruh, khususnya SI dan ISDV. Keterjalinan hubungan organisasi-organisasi buruh
dengan organisasi politik ini utamanya adalah lewat surat kabar - surat kabar
politik yang dikeluarkan oleh setiap organisasi politik. Penerbitan surat kabar
ini menjadi faktor penting dari perluasan pergerakan kaum buruh saat itu.
Ø Salah satu organisasi buruh yang nyata lahir dari
sumbangan organisasi politik adalah Persatoean
Pergerakan Kaoem Boeroeh (PPKB) pada tahun 1919, yang menjadi
badan sentral organisasi buruh pribumi yang ada. Badan ini merupakan hasil dari konferensi buruh
di Jawa yang juga merupakan gagasan dari kongres SI ke IV dan juga gagasan dari
ISDV untuk mempersatukan kaum buruh pribumi. Organisasi ini kemudian dipimpin oleh Semaun sebagai ketua, Suryopranoto
sebagai wakil, dan H. A. Salim sebagai Sekretaris. Organisasi ini terhitung
sebagai federasi serikat buruh pertama di Hindia Belanda yang sudah memasukkan aspirasi dan
ikhtiar kekuasaan dalam hasil kongresnya.
Perpecahan dan
Persatuan
Ø Konflik
di dalam PPKB antara golongan kiri dan Islam --atau lebih tepat antara SI dan
ISDV tidak dapat dihindari dan terjadi perpecahan. Golongan kiri meninggalkan
PPKB dan mendirikan Revolutionair Vakcentrale (RVC). Federasi serikat buruh ini
terdiri dari 14 organisasi, termasuk VSTP. Serikat buruh lainnya seperti PPPB,
PFB, dan VIP-BOW, tetap bergabung dalam PPKB.
Ø Perpecahan
ini tidak berlangsung lama karena masing-masing pihak merasakan perlunya sebuah
organisasi pusat yang kuat untuk membela kepentingan kaum buruh. Pada bulan
September 1922, kedua federasi itu bergabung kembali di bawah naungan
Persatoean Vakbonden Hindia (PVH). Pada tahun 1922, PVH menyatakan bahwa
anggotanya terdiri atas 18 serikat buruh dengan 32.120 buruh.
Zaman Bergerak
dan Represi Pemerintah (1920-1926)
Ø Pada tahun 1920 sampai 1926 adalah masa
rentang yang dipenuhi oleh metode perlawanan kaum buruh yang paling khas yaitu
mogok kerja.
Ø Pergerakan mogok kerja yang besar
dimulai oleh Personeel Fabrik Bond
(PFB) di pabrik-pabrik gula untuk menuntut kenaikan upah dan pengakuan
keberadaan serikat. Pada bulan
Agustus, PFB sudah mengumumkan bahwa akan terjadi
pemogokan besar kepada pihak pengusaha. Walaupun mereka telah memberikan
ultimatum, pihak pengusaha mengabaikan tuntutan mereka, sehingga pemogokan
tetap berlangsung. Gubernur Jendral cepat mengambil tindakan, dengan melarang
kegiatan pemogokan itu. Ia menuduh bahwa PFB melakukan pemogokan itu bukan
untuk menuntut perbaikan kondisi kerja, melainkan memiliki 'maksud-maksud politik'.
Pemogokan ini berakhir tanpa terjadi perubahan berarti dalam kesepakatan.
Ø Sejak pertengahan 1921 terjadi resesi
ekonomi di Hindia Belanda, dan hal itu ditanggapi oleh pihak pengusaha dengan
menurunkan/pemotongan tingkat upah.
Ø Di Surabaya pada tahun 1921 terjadi
pemogokan buruh-buruh pelabuhan. Mereka menuntut kenaikan upah yang dikurangi
oleh pihak pengusaha. Buruh-buruh yang umumnya berasal dari Madura tidak mau
bekerja sebelum tuntutan mereka dipenuhi. Mereka hanya duduk di sepanjang Kali
Mas sambil membicarakan pengurangan upah mereka. Pengusaha kemudian mencari
alternatif untuk mengatasi persoalan, tidak dengan menaikkan upah yang dituntut
oleh kaum buruh, melainkan mendatangkan tenaga kerja lain dari pedalaman. Buruh
yang semula mogok, lalu terpecah dua. Sebagian akhirnya mau kembali bekerja
dengan tingkat upah yang “disesuaikan”, sedangkan sebagian lainnya tetap tidak
mau bekerja. Persoalan akhirnya tidak selesai secara tuntas, walaupun pihak
pengusaha mengalami kerugian karena buruh-buruh yang baru didatangkan itu,
tidak sekuat dan seterampil buruh-buruh Madura.
Ø Pada bulan Januari 1922 buruh-buruh
pegadaian melakukan pemogokan. Ribuan buruh yang terlibat pemogokan ini tidak
masuk kerja sebagai ungkapan protes mereka. Pemerintah Hindia Belanda tidak
mempedulikan para buruh yang mogok ini, sehingga tidak ada penyelesaian. VSTP
dan RVC sementara itu mendukung para pelaku aksi mogok ini dengan melakukan
kampanye pengumpulan dana.
Ø Pada kongres PVH akhir Desember 1922, walau gerakan mogok
telah menjadi pembicaraan serius dalam kongres, namun PVH kemudian lambat mengambil keputusan terkait pemogokan. Hal ini
kemudian ditindaklanjuti oleh Semaun dengan mengumumkan pemogokan
VSTP pada tahun 1923. Pemogokan buruh kereta api pun terjadi, sehingga lalu lintas
Jawa terhenti sama sekali. Pemerintah Hindia Belanda mengambil tindakan keras, dengan
menangkap seluruh pemimpin pemogokan, serta melarang organisasi tersebut
mengadakan pertemuan. Semua propaganda yang dilakukan aktivis buruh, dianggap
sebagai tindakan kriminal.
Ø Setelah pemogokan VSTP, yaitu 10 Mei
1923, pemerintah menerbitkan peraturan larangan mogok dan menyamakan pemogokan
dengan tindakan kriminal. Peraturan itu dikenal dengan artikel 161 bis.
Ø Namun peraturan itu tidak mampu
menghentikan aksi-aksi buruh yang sudah terlanjur meluas. Pada tahun 1925 terjadi
pemogokan-pemogokan dihampir semua intansi penting tingkat lokal. Pada bulan Agustus 1925 juga
terjadi pemogokan di pelabuhan Semarang. Selama
setahun penuh, SPPL telah mengorganisir buruh-buruh pelabuhan yang memiliki kondisi kerja yang buruk dan pemukiman yang sangat
tidak memadai. Berbagai laporan pemerintah kolonial menunjukkan bahwa pemukiman
menjadi salah satu persoalan utama, bukan hanya bagi buruh, tapi juga bagi
perkembangan kota Semarang sendiri. Aksi pemogokan ini dilakukan oleh para
pelaut dan buruh-buruh kapal lainnya. Di antara bidang-bidang pekerjaan yang
berbeda ini, timbul semacam solidaritas. Misalnya, ketika para pelaut melakukan
pemogokan, tidak seorangpun di antara buruh lainnya yang datang menggantikan,
sekalipun sanggup, justru mereka memilih ikut mogok
bersama. Reaksi pihak pengusaha cukup keras -- walaupun dalam pemogokan ini
pihak buruh tidak melakukan perusakan atau sabotase. Perusahaan itu mengerahkan
polisi untuk memeriksa perahu-perahu dan kapal yang biasa dijalankan oleh
buruh.
Ø Pada tahun 1926 terjadi aksi-aksi
perlawanan untuk menjatuhkan pemerintahan
Hindia-Belanda di seluruh Jawa, dan bagian Barat
Sumatra. Aksi-aksi itu mendapat dukungan terutama dari PKI dan organisasi-organisasi
radikal lainnya. Pemerintah Hindia Belanda menumpas gerakan itu dengan
kekerasan, dengan hasil ratusan orang terbunuh, dan ribuan lainnya ditangkap
dan dibuang ke luar Jawa. Tempat pembuangan yang kemudian terkenal adalah Tanah
Merah di Nieuw Guinea (Irian Jaya pada masa sekarang).
Ø Pasca penumpasan perlawanan buruh dan
rakyat itu, pemerintah juga menerbitkan peraturan yang memperkuat artikel 161
bis, yaitu artikel 151 bis dan 151 ter yang intinya berisi larangan untuk
melakukan propaganda dan hal-hal yang mengganggu ketertiban umum. Pemerintah
Hindia-Belanda mengecam
tindakan-tindakan pemogokan dan perlawanan yang selama ini ada dan menganggapnya sebagai 'aksi komunis'. Setelah peristiwa 1926 ini, organisasi seperti PVH, VSTP, PFB, dan lainnya tidak lagi terdengar.
Stigmatisasi Awal dan Kemunduran Gerakan Buruh
(1926-1945)
Ø Hilangnya tokoh-tokoh gerakan buruh yang ditangkap dan
dibuang sangat berpengaruh pada perkembangan gerakan
buruh di Jawa. Walaupun
organisasi-organisasi buruh masih bermunculan satu persatu, namun jumlah
keanggotaannya lebih kecil dan karakternya lebih moderat ketimbang sebelumnya.
Jika didapati melakukan mogok atau mengkritik pemerintah, langsung dituduh
sebagai komunis.
Ø Pada bulan Juli 1927, buruh kereta api kembali mendirikan Perhimpoenan Beambte Spoor dan Tram (PBST) yang
dalam beberapa bulan saja berhasil menghimpun sekitar 5.000 buruh. Sejumlah
organisasi yang sudah ada sebelum 1926, kembali digerakkan secara bertahap,
walaupun kekuatannya lebih lemah jika dibandingkan dengan masa sebelumnya.
Ø Pada tanggal 8 Juli 1928, didirikan
Sarekat Kaoem Boeroeh Indonesia (SKBI) di Surabaya, yang beranggotakan beberapa
serikat buruh lokal. Organisasi yang diketuai Marsudi ini dengan cepat
dicurigai oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai komunis. Pada tanggal 1 April 1929 SKBI bergabung dalam Liga
Menentang Kolonialisme dan Penindasan yang dikoordinir oleh Internasionale
Ketiga (Komintern). Kecurigaan pemerintah memuncak, dan pada tahun 1929 mereka
menggeledah kantor-kantor pusat organisasi ini dan menangkap semua pimpinannya,
yang kemudian dibuang ke Boven Digoel tanpa pemeriksaan sebelumnya.
Ø Pada bulan April 1930 sejumlah serikat
buruh yang bekerja pada kantor-kantor pemerintah, kembali membuat federasi
serikat buruh dengan nama Persatoean Vakbond Pegawai Negeri (PVPN). Sementara
itu di perusahaan-perusahaan swasta kaum buruh kembali bergabung di bawah
naungan Persatoean Sarekat Sekerdja Indonesia
(PSSI), yang dibentuk beberapa bulan setelah PVPN. Kedua organisasi ini menjadi
pimpinan gerakan buruh pada masa setelah 1926, dan tidak melakukan kegiatan
atau aksi yang berarti. PVPN misalnya sama sekali tidak melakukan pembicaraan
politik dan bergabung dengan federasi serikat buruh internasional pada tahun
1931. PSSI sendiri, walaupun memiliki organisasi yang baik, tidak melibatkan
mayoritas buruh yang tidak memiliki organisasi.
Ø Kecurigaan pemerintah Hindia Belanda
terus berlangsung terhadap gerakan buruh ini, dan dengan mudah mereka dapat
melakukan penangkapan tokoh-tokoh yang kemudian dibuang ke luar Jawa. Tidak ada catatan pasti berapa aktivis
gerakan buruh yang ditangkap dan dibuang.
Ø Depresi ekonomi pada tahun 1929 membawa pengaruh yang cukup besar pada perkembangan
gerakan buruh. Pemecatan terhadap
buruh terjadi dimana-mana. Dalam kondisi tidak memiliki organisasi buruh yang
besar dan kuat, kaum buruh pun tidak dapat melakukan perlawanan, sehingga
terjadi penurunan keanggotaan serikat buruh yang sangat tajam. Bahkan beberapa serikat
buruh akhirnya hilang dengan sendirinya.
Ø Dalam kelesuan gerakan buruh itu,
sempat ada inisiatif untuk membentuk partai politik buruh pada 7 Oktober tahun 1938 dengan nama Indische Partij
van Werknemers (IPVW). Partai ini berkomitmen memberikan dukungan bagi gerakan
buruh dan memberantas pengangguran. Namun partai ini hilang karena tidak
mendapatkan respon dari gerakan buruh yang sedang lesu.
Ø Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah militer Jepang melarang semua kegiatan politik,
kecuali beberapa lembaga yang didirikan secara khusus untuk kepentingan mereka.
Gerakan buruh secara umum mengalami kemacetan. Hanya
sejumlah tokoh yang tetap aktif, dan itu pun bukan dalam kegiatan serikat buruh, melainkan dalam kegiatan-kegiatan pergerakan bawah tanah.
Bersambung...
0 komentar:
Post a Comment
Disclaimer : Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan Redaksi SGBN. Kami berhak mengubah kata-kata yang berbau pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan.
Untuk saran, koreksi dan hak jawab, atau pengiriman press rilis, silahkan mengirimkan email ke sgbnweblog@gmail.com