Tolak Upah Murah |
SGBN, JAKARTA - Persoalan upah hingga saat ini, masih
menjadi dinamika yang cukup tajam bagi dunia perburuhan. Tarik ulur
kepentingan penetapan besaran upah antara buruh dan pengusaha, masih
terus terjadi. Bahkan hukum ekonomi politik menyatakan bahwa konflik
kepentingan antara buruh dan pengusaha dalam hal penentuan upah, akan
terus terjadi hingga salah satu pihak saling menyisihkan. Ini didasari
oleh logika ekonomi kedua pihak yang saling bertentangan. Satu sisi
buruh ingin secara terus menerus meningkatkan kualitas upah untuk
menjamin kehidupannya, sementara disisi yang lainnya pengusaha justru
ingin menekan upah serendah mungkin agar dapat mencapai akumulasi
keuntungan sebesar-besarnya.
Faktanya, dalam hal penentuan nilai upah selama ini, buruh cenderung “inferior”
terhadap pengusaha. Hal tersebut diakibatkan oleh posisi tawar buruh
yang relatif lemah dihadapan pengusaha. Situasi ini mengingatkan kita
kepada “teori upah besi”
yang dikemukakan oleh Ferdinand Lassalle. Ia mengasumsikan bahwa
pengusaha berada pada posisi yang kuat, dan ingin memaksimalkan
keuntungannya, sementara buruh berada pada posisi yang lemah, atau tidak
mempunyai kekuatan tawar-menawar sama sekali. Posisi buruh yang lemah
ini membuat mereka pasrah pada nasib, dan bersedia menerima upah pada
tingkat serendah apapun demi untuk mempertahankan kelangsungan hidup
mereka. Itulah sebabnya teori upah ini dinamakan upah besi, karena upah
yang diterima buruh benar-benar hanya untuk memenuhi kebutuhan minimal
hidupnya .
Dari apa yang dikatakan oleh Lasalle, setidaknya mengajarkan kita 2 (dua) hal, yaitu : Pertama,
bahwa sesungguhnya upah yang layak tidak semata-mata ditentukan oleh
regulasi atau aturan pengupahan yang telah ditetapkan oleh Negara. Namun
juga sangat ditentukan oleh variabel yang ada disekelilingnya, seperti
tekanan politik,ekonomi, budaya hingga keadaan sosial disekitar. Kedua,
Lasalle ingin mengajarkan kepada kaum buruh, bahwa hanya dengan
kolektivitas yang kuat melalui serikat, kaum buruh dapat memperjuangkan
kebijakan pengupahan yang adil dan memihak kepentingan kaumnya. Tulisan
ini hendak membangun pola pikir yang tidak hanya sekedar mencoba
mendalami arti upah laya bagi buruh, namun juga sekaligus mencoba
menawarkan metode dan cara untuk memperjuangkan upah layak tersebut.
Upah Layak
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam
bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian
kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan
dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan . Prinsip upah sejatinya
harus mengabdi kepada kemanusiaan dengan perlakuan yang seadil dan
selayak mungkin. Hal ini sesuai dengan amanat konstitusi Negara kita,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya
Pasal 28D ayat (2) yang menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja”. Hal ini juga diperkuat melalui Pasal 88 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang menyatakan bahwa, “Setiap
pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan”. Lantas apa yang disebut dengan upah layak?.
Mendefnisikan upah layak memang bukan perkara yang mudah. Layak memiliki konotasi, “ukuran”, “batasan”, ataupun “takaran”. Dalam terminologi kemanusiaan, layak dapat ditemukan dalam padanan kata “patut”, “pantas”, “mencukupi”, “setimpal”, “terhormat” dan “mulia”.
Namun menurut Engels, untuk membangun pengetahuan mengenai upah yang
dinilai layak, jangan kita bersandar pada ilmu pengetahuan moral atau
hukum dan keadilan, atau pada sesuatu perasaan kemanusiaan yang
sentimental, kewajaran, atau bahkan kedermawanan yang secara moral
layak, yang bahkan adil menurut hukum, mungkin sekali sangat jauh
daripada layak secara sosial . Lebih lanjut menurut Engels, “Kelayakan
atau ketidak-layakan sosial ditentukan oleh satu ilmu pengetahuan
saja-ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan kenyataan-kenyataan material
dari produksi dan pertukaran, ilmu pengetahuan ekonomi politik”.
Engels mencoba untuk menyajikan pemahaman upah layak berdasarkan
skala kebutuhan upah buruh dalam sehari kerja. Menurut Engels, upah
sehari kerja, dalam kondisi-kondisi normal, ialah jumlah yang diperlukan
oleh pekerja untuk memperoleh bekal-bekal kehidupan (means of existence)
yang diperlukan, sesuai standar hidup; kedudukan dan negeri, dan untuk
menjaga agar dirinya dalam kemampuan kerja dan untuk mengembang-biakkan
kaumnya (race). Tingkat upah-upah yang nyata (aktual), dengan
fluktuasi-fluktuasi perdagangan, kadang-kadang mungkin di atas,
kadang-kadang di bawah tingkat ini; tetapi, dalam keadaan-keadaan layak,
tingkat itu seharusnya merupakan rata-rata semua ayunan (oskilasi).
Secara umum dari apa yang dikemukakan oleh Engels, upah yang layak
dapat dimaknai sebagai keseluruhan komponen biaya yang dibutuhkan oleh
seorang buruh untuk bekerja, baik dalam aspek fisik maupun non-fisik,
termasuk dalam hal kehidupan sosial. Aspek fisik adalah aspek yang
menunjang pengembangan jasmani seorang buruh agar dapat bekerja secara
efektif. Aspek ini mencakup kebutuhan gizi baik makanan dan minuman,
tempat tinggal termasuk MCK, sarana kesehatan, pakaian yang layak,
istirahat dan rekreasi hingga transportasi. Sedangkan aspek non-fisik
adalah aspek yang dapat menunjang kualitas harkat dan martabat seorang
buruh. Diantarnya sarana yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan kaum
buruh, baik berupa buku, majalah, koran hingga media berbasis online
sebagaimna yang kita kenal diabad modern sekarang ini. Aspek ini juga
termasuk sarana komunikasi yang dapat membantu seorang buruh menjalani
rangkaian aktivitas sosial disekelilingnya.
Upah Minimum
Selain upah layak, sistem pengupahan di Indonesia juga mengenal istilah “Upah Minimum”.
Istilah ini tentu saja berbeda dengan upah layak. Upah minimum hanya
merupakan salah satu komponen dalam upaya pencapaian kebutuhan hidup
layak. Untuk menentukan besaran upah minimum, maka diperlukan perangkat
untuk menghitung “standar kebutuhan hidup”
sebagai dasar penetapan upah minimum. Menurut Sidauruk, selama lebih
dari 40 tahun sejak upah minimum pertama kali diberlakukan, Indonesia
telah 3 kali menggantikan standar kebutuhan hidup sebagai dasar
penetapan upah minimum. Komponen kebutuhan hidup tersebut meliputi;
kebutuhan fisik minimum (KFM) yang berlaku Tahun 1969-1995; Kebutuhan
Hidup Minimum (KHM) yang berlaku Tahun 1996-2005 dan kemudian Kebutuhan
Hidup Layak (KHL) yang berlaku Tahun 2006-hingga sekarang ini .
Namun, paradigma upah minimum ini telah bergeser dan tidak lagi
dimaknai hanya sebatas jaring pengaman (safety net). Dalam prakteknya,
upah minimum cenderung dijadikan sebagai upah maksimum. Seakan-akan
pengusaha yang telah membayar upah buruh sesuai dengan ketentuan upah
minimum, merasa telah memenuhi kewajibannya berdasarkan ketentuan
Pemerintah. Harus dipahami bahwa upah minimum hanya untuk buruh yang
bekerja dibawah satu tahun dan berstatus lajang. Sedangkan buruh yang
telah bekerja lebih dari satu tahun atau yang sudah memiliki keluarga,
patut mendapatkan upah di atas rata-rata upah minimum. Inilah sesat
pikir yang harus kita bongkar. Terlebih pemahaman upah minimum kini
berlaku umum hampir disemua perusahaan yang ada di Indonesia. Walhasil,
tidak ada keraguan pengusaha untuk menetapkan standar upah hanya
berdasarkan upah minimum yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Bukan
berdasarkan perhitungan aspek fisik dan non-fisik, maupun tingkat resiko
dan kesulitan pekerjaan yang dibebankan kepada buruh.
Logika upah layak yang dipersonifikasikan melalui isu upah minimum,
tentu saja membentengi pengembangan konsep mengenai upah layak sesuai
dengan tuntutan kaum buruh. Hal ini dibuktikan dengan penentuan upah
minimum berdasarkan standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL), belum
sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan rill kehidupan kaum buruh. Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2012 tentang
Komponen Dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, hanya
menetapkan 60 item komponen kebutuhan hidup layak bagi buruh lajang.
Namun masih begitu banyak hal yang membunuh akal sehat terkait
perhitungan komponen kebutuhan hidup layak ini. Pertama,
kebutuhan hidup buruh yang menunjang baik untuk fisik dan non-fisik
yang belum dimasukkan kedalam komponen tersebut. Sebut saja untuk
komponen pendidikan, hal yang paling vital untuk membangun pengetahuan
buruh. Dalam permenakertrans tersebut, komponen pendidikan hanya berisi
majalah/radio dan ballpoint/pensil. Apa itu bisa dianggap layak sebagai
sarana untuk membangun pengetahuan buruh? Tentu saja tidak. Item lain
seperti buku, televisi, atau sarana untuk akses media online, adalah
kebutuhan pengetahuan yang sudah menjadi keharusan saat ini. Begitu
halnya dengan alat komunikasi, buruh perlu untuk diberikan kemudahan
untuk bersosialisasi dengan ruang sosialnya melalui ketersediaan sarana
komunikasi berupa handphone dan pulsa.
Kedua, beberapa komponen dalam perhitungan
kebutuhan hidup layak berdasarkan Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012,
yang tidak relevan lagi dengan kondisi kaum buruh saat sekarang. Sebut
saja sarana transportasi dengan menggunakan angkutan umum. Sebagai
sebuah konsep, sarana transportasi massal memang menjadi kebutuhan
ditengah kemacetan dimana-mana. Namun harus diakui bahwa dihampir
seluruh daerah, rata-rata buruh memiliki kendaraan pribadi berupa motor
yang memerlukan bahan maker yang nilainya tidak sama dengan biaya
angkutan umum. Untuk itu, item yang tedapat dalam Permenakertrans Nomor
13 Tahun 2012 tersebut, sepatutnya ditinjau ulang dan disesuaikan dengan
kondisi saat ini. Anehnya, setelah beberapa tahun tuntutan revisi
komponen kebutuhan hidup layak tersebut diajukan oleh kaum buruh,
Pemerintah tetap tidak bergeming dan cenderung menutup mata terhadap
keinginan kaum buruh.
Membangun Posisi Tawar
Perjuangan untuk mewujudkan upah layak, harus diletakkan ditangan dan
pundak kaum buruh sendiri. Menggantungkan harapan kepada Negara yang
sejatinya dimonopoli oleh kaum pemodal, adalah naïf dan secara histories
telah terbukti gagal. Prinsipnya, kesejahteraan kaum buruh bukanlah
hadiah dan pemberian. Tetapi merupakan hal yang harus diperjuangkan.
Untuk itu, sebagai tahap awal dari rangkaian perjuangan upah layak, maka
kaum buruh penting untuk membangun posisi tawar (bargaining position),
agar suara dan tuntutan dapat mempengaruhi kebijakan pengupahan yang
selama ini cenderung dicampakkan oleh kekuasaan. Buruh selama ini
dipandang sebelah mata oleh kekuasaan. Bukan karena posisi dan arti
penting kaum buruh yang nihil, namun karena gerakan buruh masih
terpencar dan membatasi dirinya hanya sebatas gerakan yang berbasis
tuntutan ekonomis.
Dalam membangun posisi tawar yang kuat terhadap Negara, terdapat
beberapa aspek yang harus diperhatikan secara seksama, antara lain : Pertama,
penguatan serikat atau organisasi buruh. Secara umum, perbandingan
antara keseluruhan jumlah buruh di Indonesia dan serikat buruh yang ada,
masih terlampau jauh rasio dan jarak-nya. Data statistik Badan Pusat
Statistik (BPS) tentang keadaan ketenagakerjaan pada bulan februari
2013, menunjukkan bahwa penduduk yang bekerja di Indonesia berjumlah
114,0 juta orang. Sedangkan jumlah keseluruhan anggota serikat buruh di
Indonesia sebesar 3.414.455 orang, yang tersebar di 11.852 buah serikat
buruh tingkat perusahaan, 92 buah federasi serikat buruh, 6 buah
konfederasi serikat buruh dan 170 buah serikat buruh disektor BUMN .
Dengan demikian jika dirata-ratakan, maka jumlah presentase buruh di
Indonesia yang tergabung atau menjadi anggota serikat buruh, hanya
sekitar 2,9 persen. Angka itu tentu saja terbilang sangat kecil sehingga
jika berbicara hitungan diatas kertas, maka posisi tawar kaum buruh
dihadapan Negara dan pemilik modal akan sangat lemah. Penguatan serikat
buruh ini tidak hanya bermakna kuat secara kuantitas. Namun justru
kuantitas yang besar inilah yang akan mendorong kualitas gerakan yang
lebih baik.
Kedua, serikat-serikat buruh yang terpencar
dan cenderung berjalan sendiri, harus menemukan muara persatuan sebagai
syarat meningkatnya daya dobrak gerakan buruh terhadap Negara dan
pemilik modal. Kita mungkin sudah cukup lama mendengar teriakan
persatuan diantara berbagai macam kelompok. Tetapi usaha persatuan
tersebut selalu gagal pada tataran praktek, atau dengan kata lain,
persatuan hanya terbatas pada ide dan gagasan belaka. Kenapa selalu
gagal? Secara singkat, setidaknya terdapat 3 (tiga) alasan mendasar
mengapa gagasan persatuan ini gagal diterjemahkan dengan baik. Pertama,
akibat sentimen serikat yang terlampau besar mendahului tujuan
perjuangan buruh. Walhasil, masing-masing kelompok hanya sibuk
menonjolkan warna bendera dan eksistensi serikatnya masing-masing,
dibandingkan melatih diri untuk bekerja bersama. Kedua, kesenjangan pemahaman (baca : teori) diantara anggota serikat buruh. Hal inilah yang menumbuhkan kecenderungan “politik patronase”
dikalangan serikat buruh. Pendapat pimpinan adalah mutlak dan tidak
boleh dibantah, rapat dan pertemuan cukup dihadiri pimpinan, kemanapun
pimpinan bergerak anggota harus nurut, dll adalah praktek yang akan
minihilkan proses belajar bagi anggota. Akibatnya, watak dan karaktek
intelektual dengan mentalitas borjuis kecil, tumbuh subur dalam serikat
buruh. Ketiga,
kelemahan pada level ideologisasi anggota serikat buruh. Ideologisasi
bermakna pengetahuan dan pemahaman akan tujuan yang akan dicapai oleh
serikat. Apakah tujuan perjuangan buruh sebatas memenuhi tuntutan
ekonomis atau selangkah lebih maju menjadi tujuan politis, yakni
menghantarkan kaum buruh menuju kekuasaan Negara.
Ketiga, gerakan buruh harus mampu
memperluas cakupan isu dan tuntutan. Dengan demikian, gerakan buruh
tidak dicap sebagai kelompok yang eksklusif yang berkutat pada isu dan
tuntutan disektor buruh saja. Cakupan isu gerakan buruh, harus mampu
menarik persoalan yang pada umumnya muncul ditengah massa rakyat. Sebut
saja isu Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan berpendapat, kebijakan
non-populis pemerintah (kenaikan tarif BBM, TDL, listrik, pendidikan,
kesehatan, dll), kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, hingga persoalan
lingkungan, perempuan, sosial dan budaya. Dengan cara inilah, maka
entitas gerakan buruh dapat berdiri tegak dihadapan massa rakyat. Bukan
sekedar sebagai kekuatan yang hanya mampu memperjuangkan kaumnya
sendiri. Dengan demikian, sokongan dari massa rakyat secara luas juga
akan bermuara kepada gerakan buruh, sebagai kekuatan alternatif yang
dapat dipercaya.
Keempat, gerakan buruh harus mampu
melepaskan diri dari ketergantungan terhadap momentum. Selama ini,
gerakan buruh terlampau menjadikan momentum sebagai “zona nyaman”.
Sebagai analogi, dalam setahun setidaknya gerakan buruh tidak pernah
luput dari 2 (dua) rutinitas momentum, yakni momentum perayaan hari
buruh (mayday) dan momentum pembahasan Upah Minimum Propinsi (UMP)
dimasing-masing daerah. Terlepas bahwa gerakan buruh harus memanfaat
momentum dengan baik, namun gerakan buruh harus mampu menciptakan
momentumnya sendiri. Momentum yang tidak hanya secara langsung terkait
dengan kepentingan kaum buruh sendiri, namun juga momentum yang
menyangkut problem pokok massa rakyat Indonesia. Intensitas melahirkan
momentum inilah, menjadi jalan untuk menunjukkan kekuatan kaum buruh
sekaligus untuk menguji konsistensi perlawanan terhadap kekuasaan.
Posisi tawar gerakan buruh justru akan lebih kuat dengan pola gerakan
yang tidak maju mundur dan timbul tenggelam.
Perjuangan Politik
Syarat perjuangan untuk mewujudkan upah layak selanjutnya adalah
perjuangan politik. Perjuangan yang tidak terhenti hanya sebatas
dipenuhinya tuntutan ekonomis kaum buruh, namun perjuangan dalam
pengambilalihan kekuasaan dari tangan pemilik modal. Loginya, tuntutan
ekonomis semisal upah, bisa saja dipenuhi berkali-kali oleh Negara.
Namun harus dipahami bahwa persoalan upah tidak akan pernah selesai jika
bukan kaum buruh sendiri yang mengambil alih kekuasan Negara dan
memutuskan sendiri kebijakan pengupahan berdasarkan kepentingan kaumnya.
Sebab membebaskan diri dari penghisapan, adalah tugas dari kaum buruh
sendiri. Untuk itulah, perjuangan kaum buruh harus mampu
dimanefestasikan dalam gerakan politik, dengan jalan membangun
organisasi politiknya sendiri. Organisasi politik yang akan menuntun
jalan sejati pembebasan kaum buruh dari keserekahan pemilik modal yang
selama ini merampas hak dan kepentingan kaum buruh.
Seperti apakah wujud dan fungsi organisasi politik kaum buruh
tersebut? Seperti kayu yang tidak akan pernah berubah menjadi abu tanpa
api, seperti ikan yang tidak akan pernah hidup tanpa air dan seperti
bayi yang tidak akan pernah mampu berlari tanpa belajar berjalan.
Organisasi politik kaum buruh seperti api yang akan mendorong perubahan
nasib kaum buruh. Dari terbelenggu oleh sistem yang menindas, menuju
sebuah sistem yang membebaskan. Dari terpenjara kekuasaan menuju
memenjarakan kuasa pemilik modal. Organisasi polik kaum buruh seperti
air yang menyodorkan kehidupan yang lebih baik bagi kaum buruh. Tanpa
organisasi politik, maka impian jalan kemenangan akan menjadi sulit
tercapai. Dan organisasi politik kaum buruh seperti balita yang belajar
berjalan untuk dapat berlari. Dengan organisasi politik-lah maka kaum
buruh dapat melatih dirinya untuk bertempur dan melancarkan perang
terhadap pemilik modal. Tanpa itu, maka kaum buruh akan latah dan gamang
dalam pertempuran yang akan dihadapi dalam upaya mengambil alih
kekuasan Negara.
Tugas organisasi politik adalah menjadi sekolah dan penuntun bagi
kaum buruh untuk bergerak dan melancarkan perjuangan. Dengan organisasi
politik pula, kemandirian perjuangan kaum buruh dalam mencapai tujuan
politiknya, dapat dilepaskan dari anasir yang akan merontokkan jalan
menuju kekuasaan. Sebagaimana yang diutarakan Lenin tentang posisi
Sosial Demokrasi Rusia, bahwa tugasnya bukanlah melayani gerakan klas
pekerja secara pasif pada setiap tahap-tahapnya yang terpisah, melainkan
mewakili kepentingan gerakan secara keseluruhan, menunjukkan
tujuan-tujuan pokok dan tugas-tugas politiknya, dan melindungi
kemandirian politik dan ideologinya. Kalau gerakan buruh terisolasi dari
Sosial Demokrasi, gerakan buruh akan menjadi picik dan secara tak
terelakkan menjadi berwatak borjuis; dengan hanya melakukan perjuangan
ekonomi, klas pekerja kehilangan kemandirian politiknya; ia menjadi
buntut dari partai-partai lain dan mengkhianati slogan besar :
“Pembebasan klas buruh haruslah menjadi tugas klas buruh itu sendiri”.
Organisasi politik dan serikat adalah dua hal yang berbeda, tetapi
tidak harus dipertentangkan. Serikat akan menjadi ladang untuk menyebar
keresahan seputar persoalan yang dialami oleh kaum buruh. Sedangkan
organisasi politik berfungsi untuk menyalurkan energi agar perjuangan
kaum buruh dapat dilokalisir menjadi satu kekuatan yang tergorganisir
dan terpimpin. Dengan organisasi politik, maka transformasi kesadaran
kaum buruh akan terbentuk secara ideologis. Dari kesadatan ekonomis
menuju kesadaran akan arti penting perjuangan politik. Perjuangan yang
akan menghantarkan kaum buruh dalam merebut kekuasaan Negara dari tangan
pemilik modal. Sebab hanya dengan cara mengambil alih kekuasaan
Negara-lah, maka seluruh kebijakan Negara akan memihak kepentingan kaum
buruh. Tanpa perjuangan politik melalui organisasi politik, maka gerakan
buruh hanya akan menjadi semacam ritme hidup yang terus berputar secara
mekanis, tanpa pernah membebaskan kaumnya dari penghisapan pemilik
modal.
Oleh : Castro, Kontriutor Arah Juang dan Anggota KPO-PRP.
Catatan Kaki :
- Friedrich Engels, “Upah Sehari Yang Layak Bagi Kerja Sehari Yang Layak!”. Sumber : Marxist.org. Diakses tanggal 29 Agustus 2014.
- Sidauruk, Markus. “Kebijakan pengupahan di Indonesia; Tinjauan Kritis dan Panduan Menuju Upah Layak”. Bumi Intitama Sejahtera Jakarta. Juli 2013, hal 52. Disadur dari dokumen pertemuan ILO yang bertajuk, “Situasi Pengupahan Di Indonesia”, 2 April 2013. Sumber : ILO. Diakses pada tanggal 29 Agustus 2014.
- Wikipedia, “Padanan Kata Layak”. Sumber : Wikipedia.
- Fadjri, dkk. Ringkasan Eksekutif Penelitian, Pola Verifikasi Serikat Pekerja/Buruh Dalam Kerangka Kebebasan Berserikat. Sumber : Kemenakertrans. Diakses pada tanggal 30 Agustus Tahun 2014.
- V.I. Lenin dalam artikel, “Tugas-Tugas Mendesak Gerakan Kita”. Diterjemahkan dari V. I. Lenin, Collected Works, 4th English Edition, Progress Publishers, Moscow, 1972, Vol. 4, pp. 366-71, The Urgent Tasks of Our Movement. Ditulis awal bulan November 1900, diterbitkan bulan Desember 1900 di Iskra, No. 1. Sumber : Marxist.org. Diakses pada tanggal 30 Agustus 2014.
Sumber: http://www.arahjuang.com/2014/09/01/upah-layak-dan-kewajiban-perjuangan-politik-kaum-buruh/
0 komentar:
Post a Comment
Disclaimer : Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan Redaksi SGBN. Kami berhak mengubah kata-kata yang berbau pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan.
Untuk saran, koreksi dan hak jawab, atau pengiriman press rilis, silahkan mengirimkan email ke sgbnweblog@gmail.com