Belum genap 100 hari kepemimpinan JOKOWI sebagai Presiden,
rakyat dihadiahi kado spesial: KENAIKAN BBM. Terhitung sejak 17 November lalu,
Jokowi mengumumkan kenaikan Premium menjadi Rp 8.500/liter (sebelumnya Rp
6.500) dan Solar menjadi Rp 7.500 (sebelumnya Rp 5.500). Tentu saja, kenaikan
BBM ini dibarengi dengan upaya pemerintah merasionalisasikan alasan-alasan
sedemikian rupa agar kenaikan BBM menjadi keputusan yang wajar dan dapat
dimaklumi oleh rakyatnya.
Alasan pemerintah selalu sama di tiap kenaikan BBM. Defisit anggaran yang menyebabkan APBN jebol, pengalihan subsidi ke sector lain -pendidikan, kesehatan,infrastruktur-, penyesuaian harga minyak dunia, tidak cukupnya cadangan minyak Indonesia dan sederet alasan yang justru merupakan dalih pembenaran sehingga rakyat mau tak mau dipaksakan untuk menerima kondisi ini.
Kebohongan Pemerintahan Jokowi-JK; BBM
Harus Naik, Upah Buruh Harus Murah!
Pengalihan subsidi BBM untuk membiayai pembangunan
infrastruktur; bandara, rel kereta api, pelabuhan, jalan transdaerah,
pembangkit listrik, tol laut, merupakan bagian dari program MP3EI. Ditegaskan
oleh Jokowi pada Forum Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) lalu, Jokowi
mempresentasikan sektor-sektor ‘basah’ (transportasi, tambang, pertanian,
kelautan,) yang ada di Indonesia untuk diobral kepada para investor asing.
Jokowi menjamin kemudahan untuk para investor asing dalam hal perijinan,
pembebasan lahan dan murahnya upah buruh. Hal ini membuktikan negara lebih
berpihak pada kepentingan pemilik modal asing (kapitalis internasional)
daripada berpihak pada kesejahteraan rakyatnya.
Kenaikan BBM merupakan penyesuaian harga minyak dunia adalah
bentuk kebohongan lain pemerintahan Jokowi-JK. Kenyataannya, harga minyak dunia
saat ini turun seberas 43%, dari US$150
menjadi US$85. Pemerintahan Jokowi-JK lalu menuding rakyatnya sendiri
dengan mengatakan bahwa rakyat Indonesia terlalu boros mengkonsumsi BBM,
sementara di sisi lain mobil-mobil murah melonjak produksinya. Impor BBM pun
tetap terjadi dengan alasan bahwa cadangan minyak kita tidak cukup untuk
memenuhi konsumsi masyarakat hingga lima puluh
tahun ke depan. Produksi minyak mentah (lifting) kita memang terus
mengalami penurunan hingga ada tahun 2012 tinggal 890.000 barel/hari. Lagi-lagi
pemerintahan Jokowi-JK lebih memilih mengimpor minyak ketimbang menasionalisasi
industri migas asing yang telah berpuluh-puluh tahun menghisap keuntungan dari
eksploitasi lahan minyak di Indonesia.
Pengalihan subsidi BBM untuk sektor publik dengan menerbitkan
KARTU SAKTI merupakan sogokan kepara rakyat kecil agar terkesan pemerintahan
Jokowi-JK adalah pemerintahan yang pro rakyat. Namun, seperti halnya BLT dan
BLSM, KARTU SAKTI ini tidak serta merta menutupi kebutuhan seluruh rakyat
kecil.
Melalui proyek ‘tukar guling’ ini, rakyat diilusi bahwa
subsidi pendidikan dan kesehatan lebih penting dibanding subsidi BBM. Padahal,
hak rakyat untuk mendapatkan BBM murah adalah sama pentingnya dengan hak untuk
mendapatkan pendidikan dan kesehatan.
Jika pemicu kenaikan BBM adalah jebolnya APBN sehingga
anggaran harus dipangkas, mestinya pemerintah tidak memangkas anggaran-anggaran
sektor publik. Masih banyak pos-pos anggaran yang layak untuk dipangkas. Biaya
belanja birokrat dan aparatus negara seperti perjalanan dinas dan fasilitas
mewah yang mencapai Rp 37 triliun dalam RABN 2015. Fakta lain, kenaikan BBM
juga akan menambah beban 86,253 juta pengguna sepeda motor yang selama ini
tidak bisa menikmati adanya transportasi massal sejak kenaikan BBM 10 tahun
lalu.
Jika Jokowi-JK serius untuk melakukan pemangkasan biaya
perjalanan dinas, pembelian kendaraan dinas, dll, maka negara bisa menghemat
anggaran lebih dari Rp 10 trilliun.
Di tengah-tengah kenaikan harga BBM, kaum buruh juga masih
harus berjuang menuntut upah layak. Sebuah pukulan telak bagi kaum buruh di
tengah-tengah perjuangan upah 2015, kenaikan upah bahkan tidak berpengaruh sama
sekali karena kenaikan BBM pasti akan memicu kenaikan harga kebutuhan pokok.
Nasib kaum buruh makin jauh dari kesejahteraan, begitu juga dengan nasib kaum
petani yang akan diperhadapkan pada mahalnya biaya produksi dan pupuk,
begitupun dengan nelayan dan kaum miskin kota. Secara langsung hal ini akan
mematikan produksi para petani dan nelayan dan kaum miskin kota akan hidup
semakin sengsara.
Tentunya, kenaikan upah yang sedang diperjuangkan intinya
tidak terletak pada asumsi “kenaikan upah untuk mengatasi kenaikan BBM dan
inflasi”. Namun intinya adalah bagaimana buruh bisa mendapatkan kehidupan yang
layak berdasarkan kebutuhan buruh sebagai pekerja dan sebagai manusia.
Perhitungan KHL sebagai penentu besaran upah tiap tahunnya hanya didasarkan
pada perhitungan buruh perorangan/ lajang. Belum lagi dalam komponen KHL
seperti misalnya biaya kamar kontrakan perbulan hanya Rp 721.000. Artinya buruh
tidak bisa mengontrak bahkan mencicil rumah (apalagi jika telah bekeluarga)
dari anggaran yang hanya Rp 721.000 tersebut.
Kenaikan upah yang dituntut oleh kaum buruh akan selalu ditekan
oleh pemerintah dan pengusaha. Upah yang didapat oleh buruh selama ini sangat
jauh dari ‘layak’. Imbas kenaikan BBM pasti memicu inflasi sehingga kenaikan
biaya produksi industri kecil dan menengah tidak dapat dihindarkan. Lalu
pabrik-pabrik akan melakukan efisiensi/ penyesuaian yang menyebabkan PHK
massal; pengangguran. Jadi, sudah terbebani oleh kenaikan harga, kaum buruh
juga akan terbebani dari sisi upah dan PHK. Lagi-lagi buruh yang menjadi korban
kebijakan pemerintah. Kenaikan upah tahun 2015 menjadi tidak berarti sama
sekali selain hanya penyesuaian kenaikan angka dan tidak akan sebanding dengan laju
inflasi yang pastinya akan terus meningkat setelah kenaikan harga BBM.
Perlawanan kaum buruh atas tuntutan kenaikan upah juga akan
memicu pemberangusan serikat (union busting) di pabrik-pabrik. Buruh-buruh yang
tergabung dalam serikat yang selalu bergerak memperjuangkan hak-hak buruh akan
dihentikan masa kerjanya secara sepihak dengan tujuan mematikan
perlawanan-perlawanan di tingkat pabrik. Kebebasan buruh berorganisasi dikebiri
oleh pengusaha yang mengatasnamakan keamanan dan ketertiban yang juga tertuang
dalam UU Ormas.
Tuntutan Rakyat terhadap Pemerintahan
Jokowi-JK
Penderitaan rakyat akan terus bertambah dari kekuasaan yang
po pasar dan pro pemodal. Pemerintahan Jokowi-JK perlahan-lahan membuka
kedoknya sebagai antek neoliberal. Kebijakan-kebijakan yang tidak menceerminkan
keberpihakan pada rakyat dengan mengingkari janji-janji kampanye merupakan
bukti nyata rakyat hanya dijadikan komoditi pemilu. Pun dengan kenaikan harga
BBM dan penekanan kenaikan upah dirasakan langsung oleh rakyat, mengulang
warisan rezim pendahulunya. Sementara, segelintir kaum dapat menikmati
kesenangan di atas penderitaan rakyatnya.
Jika nasionalisasi asset-aset vital dibawah kontrol rakyat
dilakukan oleh Jokowi-JK, kenaikan BBM, kenaikan harga kebutuhan pokok serta
kenaikan upah buruh yang sangat minim tidak perlu terjadi. Di sektor
pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial, Jokowi-JK terus aktif melakukan
LIBERALISASI PASAR dengan berbagai kebijakan yang mengorbankan kepentingan orang
banyak. Di tahun 2015, Masyarakat Ekonomi Asean akan diberlakukan sehingga
Indonesia bisa jadi tidak memiliki lagi hak pengelolaan nasional asset-aset
vital negara.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka tiada lain selain
membangun kekuatan alternatif di tangan rakyat itu sendiri. Sudah tidak
menitipkan nasib dan saatnya sadar dari
ilusi partai-partai borjuasi yang tidak sedikitpun mewakili kepentingan rakyat.
Perubahan tidak akan bisa terwujud di tangan mereka, tapi di tangan rakyat itu
sendiri. Berhimpun dan menjadi bagian dari organisasi rakyat, bersatu padu
dalam kekuatan politik rakyat untuk terus berjuang, karena KEDAULATAN ADA DI
TANGAN RAKYAT.
Oleh karena
itu, maka kami menuntut:
1. Tolak Kenaikan Harga BBM,
subsidi sebesar-besarnya untuk rakyat!
2. Lawan Politik Upah Murah,
Tolak Sistem Kontrak dan Outsourcing, Lawan Pemberangusan Serikat!
3. Nasionalisasi Aset-Aset
Vital Negara di Bawah Kontrol Rakyat, Pengelolaan sektor Migas dari Hulu ke
Hilir untuk Kepentingan Rakyat !
4.
Bangun Persatuan Buruh & Rakyat !
5.
Bangun Partai Alternatif, Lawan Neoliberalisme!
Siapkan
Perlawanan Rakyat Secara Bersama dan Serentak Pada abu, 26 November 2014 Menuju
MOGOK UMUM NASIONAL
Jakarta, 24
November 2014
SGBN SGMK KPO PRP
Sultoni Daniel “ Pay”Halim Mika Darmawan
0 komentar:
Post a Comment
Disclaimer : Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan Redaksi SGBN. Kami berhak mengubah kata-kata yang berbau pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan.
Untuk saran, koreksi dan hak jawab, atau pengiriman press rilis, silahkan mengirimkan email ke sgbnweblog@gmail.com